Pujut merupakan wilayah kedatuan (kerajaan kecil) yang diperkirakan berdiri pada tahun caka 1255 atau 1355 M, perkiraan tahun berdirinya kedatuan pujut ini diambil dari sumber lontar yang berbahasa sasak berbunyi “Kengkang Pelapak Gedang Lembah Gunung Pujut dait Gunung Tengak dait Pelembah Polak Due”. Kengkang melambangkan angka 1, Pelepak Gedang Polak melambangkan angka 2, Gunung Pujut melambangkan angka 5 dan Gunung Tengak melambangkan angka 5, sehingga jika angka ini digabungkan akan membentuk angka caka 1255.
Kedatuan pujut didirikan oleh seorang bangsawan Majapahit yang bernama Ame Mas Meraje Mulie dan menikah dengan puteri kerajaan Kelungkung Bali. Setelah melangsungkan pernikahan oleh mertuanya Ame Mas Meraje Mulie disuruh oleh mertuanya untuk bersemedi di sebuah pulau di timur Bali, pulau itu sekarang disebut Nusa Penide (Penida berasal dari kata Penede artinya tempat memohon kepada Tuhan YME), dalam semedinya beliau mendapat wangsit untuk berlayar ke Timur dan apabila dalam pelayaran tersebut melihat cahaya di daratan, maka disanalah tempat tinggalnya. Berdasarkan wangsit tersebut akhirnya bersama istri dan pengiringnya melakukan pelayaran ke arah timur dan akhirnya menemukan petunjuk tersebut yaitu disebuah Bukit di dataran bagian selatan Lombok yang kita kenal sekarang sebagai Gunung Pujut.
Ame Mas Meraje Mulie menganut paham Shiwa-Budha yang menjadi agama resmi di Majapahit, dengan demikian maka setibanya di Gunung Pujut ia mendirikan tempat pemujaan Shiwa-Budha yaitu Diwe Dapur, Diwe Pujut, Diwe Peringge dan Diwe Jomang dan membuat kampung bernama Tuban untuk mengenang asalnya dari Kadipaten Tuban Wilayah Kerajaan Majapahit. Kalau memang betul Ame Mas Meraje Mulie berasal dari Kadipaten Tuban maka dapat dipastikan bahwa ia masih merupakan keturunan Raja Daha Kediri dari garis keturunan Airlangga pendiri kerajaan Kediri.
Dari hasil pernikahannya dengan Puteri Kelungkung Ame Mas Meraje Mulie memiliki satu orang putra yaittu Ame Mas Mayang. Ame Mas Mayang memiliki empat orang putra/putri yaitu Sri Meraje Tinauran, Meraje Gune, Meraje Pati dan Meraje Tinolo. Meraje Gune memiliki seorang putra yaitu Meraje Galungan dan Meraje Pati memiliki seorang putra bernama Meraje Olem. Meraje Olem inilah yang menjadi Datu Pujut yang ke empat. Meraje Olem memiliki dua orang putra/puteri yaitu Sri Mas Jaye Diguna atau biasa disebut Balok Gare dan Sri Mas Jaye Wire Sentane atau biasa disebut Balok Pait.
Berdirinya Masjid Gunung Pujut
Pada masa pemerintahan Meraje Olem agama Islam sudah berkembang dengan pesat di seluruh Nusantara termasuk pulau Lombok yang dibawa oleh para Waliyullah dari tanah Jawa atau biasa dikenal dengan nama Wali Songo. Meraje Olem suatu ketika berangkat ke tanah Jawa untuk mengunjungi tanah leluhurnya dan disana Meraje Olem sangat tertarik dengan agama Islam sehingga ia memeluk agama Islam dan belajar kepada Wali Songo. Setelah mempelajari Islam Meraje Olem kembali ke Pujut dan mengajarkan ajaran Islam kepada rakyatnya. Dibantu oleh Wali Yatok ia menyebarkan agama Islam tidak saja kepada masyarakat Pujut tetapi juga kepada kedatuan-kedatuan disekitarnya.
Sebagai tempat ibadah maka pada tahun caka 1509 atau 1587 M atau 1008 H Meraje Olem mendirikan Masjid di puncak Gunung Pujut (pada ketinggian 400 mdpl). Masjid Gunung Pujut sendiri memiliki desain arsitektur yang unik dan dapat ditandai dari bentuk atap 2 cungkup seperti masjid demak, bangunan masjid tidak memiliki jendela dengan satu pintu kayu didepan dan berdinding sangat pendek yaitu 1,5 meter sehingga untuk memasuki masjid maka harus menundukkan kepala. Bentuk arsitektur yang seperti ini barangkali memiliki makna-makna makrifat yang perlu untuk dikaji lebih dalam. Masjid Gunung Pujut memiliki ukuran 9 x 9 meter dengan empat buah tinga besar (agung) didalamnya yang menyokong kuncup atap atas.
Tahun meninggalnya meraje olem tidak banyak diketahui oleh masyarakat, tetapi setelah meninggal Meraje Olem dimakamkan di sebelah utara Gunung Pujut yang biasa disebut sebagai Makam Sempane. Untuk menandakan bahwa Meraje Olem telah memeluk agama Islam maka diatas makamnya ditanami oleh 9 buah pohon Kamboja yang sampai sekarang masih tumbuh dengan baik.
Sejarah Singkat Gunung Pujut
Gunung Pujut terletak di wilayah Desa Sengkol. Gunung Pujut memiliki ketinggian 500 meter di atas permukaan laut. Terletak dengan jarak 1 Km di sebelah timur ibu kota kecamatan Pujut, 11 km di sebelah utara pantai Kuta sebagai batas wilayah kecamatan Pujut Lombok Tengah bagian selatan. Gunung Pujut adalah tempat pusat pemerintahan raja Pujut yang memiliki wilayah kekuasaan pemerintahan sendiri. Kerajaan Pujut diperintah oleh raja-raja dari keturunan Raja Majapahit di pulau Jawa. Waktu itu beliau tidak mau masuk agama Islam. Beliau meninggalkan Istana Majapahit dengan dikawal oleh 16 orang pengikutnya menuju ke pulau Lombok. Daerah-daerah yang disinggahinya adalah kerajaan Gianyar, Kelungkung dan kerajaan Karangasam Bali. pada zaman dahulu masyarakat Pujut menganut Agama Hindu Budha. Ini dapat kita buktikan dengan adanya peninggalan-peninggalan sebagai berikut.
1. Dewa Peringga (tempat menyimpan harta kraton)
2. Dewa Pujut (tempat semedi / memuji)
3. Dewa Dapur (kraton/istana)
4. Dewa Jomang (tempat kuda)
Sejarah Masuknya Islam
Kerajaan Pujut dipimpin oleh keturunan kerajaan Majapahit. Orang Yang menjadi raja Pujut bernama Sri Meraja Tinauran, beliau seorang perempuan yang pernah memipin kerajaan Pujut. Sri Meraja Tinauran ini memiliki keponakan bernama Meraja Olam, yang kemudian Meraja Olam yang pertama masuk Islam raja Pujut. Setelah Baginda Raja masuk Islam, kemudian namanya diganti dengan sebutan nama Kyai Sri Jati dan dinamakan juga Mas Olem nama yang terkenal karena sendiri di Islamkan ketika ke Jawa, sementara itu rakyatnya di Pujut masih belum masuk Islam, maka Baginda raja kembali ke Pujut bersama para tokoh–tokoh pengikutnya.
Sejarah Beririnya Masjid Kuno Gunung Pujut
Dengan dipimpin para Walia Baginda Raja membangun Masjid Bersama mayarakatnya secara bergotong royong sehingga pembangunan masjid tidak memerlukan waktu cukup lama. Masjid di bangun oleh Baginda Raja sebagai tempat beribadah bagi raja dan rakyatnya. Raja beserta rakyatnya melakukan ibadah karena raja Pujut beserta rakyatnya sudah menganut agama Islam yang dibawakan oleh Wali dari Jawa. Dengan masuknya kerajaan Pujut masuk Islam tempat ibadahpun dibangun sebagai tempat melakukan hubungan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Masjid dibangun bukan hanya sekedar membangun sedemikian rupa, tetapi dengan penuh makna dan nilai. Pembangunan Masjid Kuno Gunung Pujut diperkirakan dibangun pada Tahun 1008 H= Tahun Caka 1509= 1587 M. Masjid kuno gunung Pujut yang letaknya di desa Sengkol didirikan tepatnya di puncak gunung Pujut yang mana puncak gunung Pujut adalah tempat Kerajaan Pujut.
Struktur Bangunan Masjid Kuno Gunung Pujut
Masjid di bangun dengan memiliki makna-makna di setiap bagiannya. Bangunan Masjid mempunyai luas 9 meter, maknanya mengingatkan kita kepada kesembilan Wali, bertianggung 4. Bilangan 4 sebagai umat yang menjalankan yang 4 perkara yakni syareat, tarekat, hakekat, dan ma’rifat. Sabar dan juga syukur, ridho, tawakal. Ukuran 20 mengingatkan kita kepada Zat Allah (sifat – sifatnya). Pondasi bersudut 4, maknanya: Mengingatkan kita kepada 4 anasir : api, air, angin, tanah. Bangunannya tegak menjulang, atapnya hampir menyentuh tanah. Hal ini mengandung makna: setiap orang hendak melakukan shalat haruslah merendahkan diri menyembah tuhan yang tinggi.
Masjid kuno gunung Pujut juga memiliki bagian-bagian seperti; kepala, badan dan kaki (pondasi). Bagian kepala masjid memiliki makna bahwa itulah kekuasaan dan juga sebagai alat dan baerangkat dari akal dan pikiran, badan masjid memiliki makna bahwa badan sebagai penerima sesuatu yang merupakan kekuasaan, sementara itu pendasi merupakan penguat sehingga keimanan dan ketakwaan umat Islam menjadi kokoh.